sumedang
SEJARAH
SINGKAT SUMEDANG
Berdasarkan sumber historiografi tradisional cikal bakal berdirinya
kerajaanSumedanglarang berawal dari kerajaan Tembong Agung (Tembong
artinya nampak dan Agung artinya luhur). Berdirinya kerajaan Tembong
Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan
oleh Wretikandayun 612 , sedangkan kerajaan Tembong Agung didirikan
oleh Prabu Guru Haji Aji Putih 696 - 721 . Wretikandayun mempunyai
putera bernama Jantaka. Jantaka dikenal pula sebagai Resiguru di Denuh
atau dikenal pula sebagai Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul,
mempunyai seorang putera yaitu Aria Bimaraksa yang lahir tahun 653, yang
kemudian jadi Senapati Galuh pada masa pemerintahan Prabu Purbasora.
Aria Bimaraksa atau Ki Balangantrang setelah pesiun dari Senapati Galuh
dikenal sebagai Sanghyang Resi Agung mempunyai dua orang anak yang
pertama Guru Aji Putih yang dilahirkan pada tahun + 675 M dan Sekar
Kancana yang menurunkan raja-raja Sunda.
Pada tahun 696 M, Prabu Guru Aji Putih awalnya mendirikan padepokan di
Citembong Agung Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke
kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Pernikahan Prabu
Guru Aji Putih dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat
orang putra; yang sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana
yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, yang kedua Sakawayana
alias Aji Saka, yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana
yang dikenal Langlang Buana.
Ketika Batara Kusuma sedang bertapa , terjadi suatu keajaiban alam di
kaki Gunung Cakrabuana, ketika langit menjadi terang-benderang oleh
cahaya yang melengkung mirip selendang (malela) selama tiga hari tiga
malam sehingga Batara Kusuma berucap “ In(g)sun Medal In(g)sun Madangan”
(In(g)sun artinya “saya”, Medal artinya lahir dan Madangan artinya
memberi penerangan) maksudnya “Aku lahir untuk memberikan penerangan”
dari kata-kata tersebut terangkailah kata Sumedang, sedangkan kata
Sumedanglarang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang
bandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya),
sehingga Batara Kusuma dikenal pula sebagai Tajimalela dan kata
Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan
Medang adalah nama sejenis pohon, Litsia Chinensis sekarang dikenal
sebagai pohon Huru, dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran
tinggi sampai ketinggi 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang
merupakan dataran tinggi.
Prabu Tajimalela merupakan raja pertama Kerajaan Sumedanglarang (721 –
778) yang berkedudukan Tembong Agung Darmaraja dibekas kerajaan Prabu
Guru Aji Putih. Prabu Tajimalela mempunyai tiga orang putra yaitu ; yang
pertama Jayabrata atau Batara Sakti alias Prabu Lembu Agung, yang
kedua Atmabrata atau Bagawan Batara Wirayuda yang dikenal sebagai Prabu
Gajah Agung, dan yang terakhir Mariana Jaya atau Batara Dikusuma dikenal
sebagai Sunan Ulun, yang pertama menjadi raja kedua Sumedanglarang
adalah Lembu Agung (778 – 893) kemudian digantikan oleh Prabu Gajah
Agung (893 – 998) sebagai raja Sumedanglarang ketiga dan mulai dari sini
pusat pemerintahan dipindah dari Darmaraja ke Ciguling Pasanggrahan
Sumedang Selatan. Prabu Gajah Agung mempunyai putra bernama Wirajaya
atau Jagabaya atau dikenal sebagai Prabu Pagulingan (998 – 1114)
kemudian menjadi raja Sumedanglarang keempat dengan pusat pemerintahan
di Cipameungpeuk. Setelah wafatnya Prabu Pagulingan digantikan oleh
Mertalaya yang dikenal sebagai Sunan Guling (1114 – 1237) sebagai raja
Sumedanglarang kelima dengan pusat pemerintahan kembali ke Ciguling.
Sunan Guling mempunyai tiga putra; Tirta Kusuma dikenal sebagai Sunan
Tuakan, Jayadinata dan Kusuma Jayadiningrat. Setelah Sunan Guling wafat
digantikan oleh puteranya bernama Tirtakusuma atau Sunan Tuakan (1237 –
1462) sebagai raja Sumedanglarang yang keenam. Sunan Tuakan memiliki
tiga putri; yang sulung Ratu Ratnasih alias Nyi Rajamatri diperistri
oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata Pakuan Pajajaran, yang kedua Ratu
Sintawati alias Nyi Mas Ratu Patuakan dan yang ketiga Sari Kencana
diperisteri oleh Prabu Liman Sanjaya keturunan Prabu Jaya Dewata.
Kemudian Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya yang kedua yang bernama
Ratu Sintawati alias Nyi Mas Ratu Patuakan (1462 – 1530) sebagai raja
Sumedanglarang ketujuh, Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Corenda raja
Talaga putera Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala
penguasa Galuh. Dari Ratu Sintawati dan Sunan Corenda mempunyai putri
bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi
penguasa Sumedang yang kedelapan bergelar Ratu Pucuk Umun (1530 – 1578
).
Pada masa Ratu Sintawati / Nyai Mas Patuakan agama Islam mulai menyebar
di Sumedang pada tahun 1529 M. Agama Islam disebarkan oleh Maulana
Muhammad alias Pangeran Palakaran putera Maulana Abdurahman alias
Pangeran Panjunan. Putra Pangeran Palakaran / Muhammad yaitu Rd. Solih
atau Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum putri Nyi Mas
Patuakan, yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umum
sebagai penguasa Sumedang, Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja
Sumedanglarang dengan gelar Pangeran Kusumadinata I . Pangeran Santri
merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan
berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedanglarang yang
baru.
Hasil pernikahan Ratu Pucuk Umum dengan Pangeran Santri mempunyai
seorang putra bernama Pangeran Angkawijaya kelak bergelar Prabu Geusan
Ulun . Pada masa pemerintahan Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran
sudah menurun di beberapa daerah termasuk Sumedang . Pada tahun 1578
tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal
bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedanglarang
Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh
Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan),
Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa
pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa
Sumedanglarang pada waktu itu dan pada masa itu pula Pangeran
Angkawijaya dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang dengan gelar Prabu
Geusan Ulun (1578 – 1601) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan
pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei
1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan
pasukan Kesultanan Surasowan Banten
Yang akhirnya Sumedang mewarisi wilayah bekas wilayah Pajajaran dengan
wilayahnya meliputi seluruh Pajajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu
Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes
sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra
Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak
termasuk wilayah Sumedang Larang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan
Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah
Sumedanglarang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak
termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang
menjadi bagian Jawa Barat. sehingga Prabu Geusan Ulun mendapat restu
dari 44 penguasa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga
Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih
tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000
umpi. Tidak semuanya bekas kerajaan bawahan Pajajaran mengakui Prabu
Geusan Ulun sebagai nalendra , sehingga terpaksa Prabu Geusan Ulun
menaklukan kembali kerajaan-kerajaan tersebut seperti Karawang, Ciasem,
dan Pamanukan.
Peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Cakrawarti atau Nalendra
merupakan kebebasan Sumedang untuk mengsejajarkan diri dengan kerajaan
Banten dan Cirebon. Arti penting yang terkandung dalam peristiwa itu
ialah pernyataan bahwa Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang
sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Bumi Parahiyangan. Pusaka
Pajajaran dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jaya
Perkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat
legalisasi keberadaan Sumedang, sama halnya dengan pusaka Majapahit
menjadi ciri keabsahan Demak dan Mataram.
Setelah wafatnya Prabu Geusan Ulun pada tahun 1601 Sumedang dibagi dua
pemerintah, pemerintahan pertama di Canukur Ganeas oleh Pangeran Rangga
Gede dari putera Prabu Geusan Ulun dari permaisuri Nyi Mas Cukang Gedeng
Waru dan pemerintah kedua dipimpin oleh Pangeran Soeriadiwangsa anak
tiri Prabu Geusan Ulun dari Harisbaya. Pada tahun 1620 Pangeran Aria
Suriadiwangsa pergi ke Mataram untuk menyatakan Sumedanglarang bergabung
menjadi bagian wilayah Mataram. Sejak Sumedanglarang menjadi bagian
dari Mataram, wilayah bekas Sumedanglarang diganti nama menjadi Priangan
yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti “tulus ikhlas”.
Sebagai penghargaan atas kedatangan dan ketulusan hati Pangeran
Suriadiwangsa atas pengakuan kekuasaan Mataram di Jawa Barat, Sultan
Agung memberikan gelar kepada Pangeran Suriadiwangsa yaitu Pangeran
Dipati Rangga Gempol Kusumadinata atau lebih dikenal sebagai Rangga
Gempol I . Dengan demikian sejak tahun 1620 status Sumedanglarang pun
berubah, tidak lagi sebagai kerajaan yang berdaulat dan merdeka tapi
sebagai Kabupaten yang menjadi bawahan Mataram dan Pangeran
Suriadiwangsa bukan sebagai raja lagi tapi sebagai bupati yang membawahi
beberapa umbul saja. Sejak tahun 1620 Sumedanglarang merupakan kerajaan
Sunda terakhir dan tatar Sundapun memasuki awal Kebupatian.
Setelah perginya Pangeran Soeriadiwangsa ke Mataram pemerintahan
diserahkan kepada kakaknya Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633) putra
Geusan Ulun dari Nyi Mas Gedeng Waru. Sumedang yang sempat terbagi dua
pemerintahan kembali di satukan oleh Pangeran Rangga Gede dengan
berkedudukan Ibukota yang baru di Parumasan Paseh sebelah timur
Sumedang. Pada masa Pangeran Rangga Gempol III / Kusumadinata VI (1656 –
1706) dikenal juga sebagai Pangeran Panembahan , gelar Panembahan
diberikan oleh Susuhunan Amangkurat I Mataram karena atas bakti dan
kesetiaannya kepada Mataram. Kekuatan dan kekuasaan Pangeran Panembahan
adalah paling besar di seluruh daerah yang dikuasai oleh Mataram di Jawa
Barat berdasarkan pretensi Mataram tahun 1614. Masa itu terjadi
pertempuran antara Banten dengan Sumedang. Pada masa itu pengaruh
Mataram di tatar Sunda mulai menurun dan pengaruh VOC mulai menanamkan
kekuatannya. Daerah kekuasaan Pangeran Panembahan waktu itu hampir sama
dengan daerah dulu dikuasai oleh Sumedanglarang. Pangeran Panembahan
beringinan mengembalikan kejayaan Sumedanglarang seperti halnya masa
Prabu Geusan Ulun. Untuk merebut kembali daerah yang dulu dikuasai
Sumedanglarang bukan hal yang mudah karena karena beberapa daerah sudah
merupakan wilayah dari Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Sebagai sasaran
penaklukan kembali adalah pantai utara Jawa seperti Karawang, Ciasem,
Pamanukan dan Indramayu yang merupakan kekuasaan dari Mataram. Pangeran
Panembahan meminta bantuan kepada Banten karena waktu itu Banten
sedang konflik dengan Mataram tetapi setelah dipertimbangkan langkah
tersebut kurang bijaksana, sedangkan permohonan bantuan Pangeran
Panembahan tersebut diterima dengan baik oleh Banten dan mengajak
Sumedang untuk berpihak kepada Banten dalam menghadapi VOC dan Mataram.
Ajakan dari Banten tersebut ditolak oleh Pangeran Panembahan dan
menyadari sepenuhnya Sultan Agung akan menyerang Sumedang dengan
kekuatan yang lebih besar dibandingkan Banten, akibat penolakan tersebut
akhirnya Banten menyerang Sumedang. Pada tahun 10 Maret 1678 pasukan
Banten bergerak untuk menyerang Sumedang melalui Muaraberes / Bogor,
Tangerang ke Patimun Tanjungpura dan berhasil melalui penjagaan VOC,
awal Oktober pasukan Banten telah datang di Sumedang tetapi pasukan
Banten tidak bisa masuk ke Ibukota Sumedang, karena Pangeran Panembahan
mengetahui kedatangan Banten dan bertahan dengan gigih. Pada serangan
pertama ini Banten mengalami kegagalan. Baru pada tanggal 18 Oktober
1678 hari Jumat pasukan Banten di bawah pimpinan Cilikwidara dan
Cakrayuda menyerang Sumedang tepat Hari Raya Idul Fitri dimana ketika
Pangeran Panembahan beserta rakyat Sumedang sedang melakukan Sholat Ied
di Mesjid Tegalkalong.
Serangan pasukan Banten ini tidak diduga oleh Pangeran Panembahan karena
bertepatan dengan Hari Raya dimana ketika Pangeran Panembahan dan
rakyat Sumedang sedang beribadah kepada Allah. Akibat serangan ini
banyak anggota kerabat Pangeran Panembahan yang tewas termasuk juga
rakyat Sumedang. Pangeran Panembahan sendiri berhasil meloloskan diri ke
Indramayu. Pendudukan Sumedang oleh Cilikwidara tak berlangsung lama
pada bulan Agustus 1680 pasukan Cilikwidara ditarik kembali ke Banten
karena terjadi konflik kembali antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan
Sultan Haji yang didukung oleh VOC, dalam konflik tersebut dimenangkan
Sultan Haji. Sejak itu kejayaan Sultan Banten berakhir. Sultan Haji
berkata kepada VOC bahwa Banten tidak akan mengganggu lagi Cirebon dan
Sumedang, yang pada akhirnya berakhirlah kekuasaan Banten di Sumedang.
Pada tanggal 27 Januari 1681 Pangeran Panembahan kembali ke Sumedang dan
bulan Mei 1681 memindahkan pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan
(Sumedang sekarang) dan membangun gedung kebupatian yang baru
Srimanganti pada tahun 1706 sekarang dipakai sebagai Museum Prabu Geusan
Ulun Yayasan Pangeran Sumedang.
Pada tahun 1773 – 1791, posisi Bupati dipegang oleh Bupati Penyelang
dari Parakan Muncang yaitu Dalem Adipati Tanubaya dan Patrakusumah,
kecuali Dalem Aria Sacapati merupakan masih keturunan leluhur Sumedang.
Tahun 1791 posisi Bupati Sumedang dipegang kembali oleh keturunan
leluhur Sumedang . Sejak tahun 1791 s/d th. 1919 banyak terjadi
peristiwa penting dalam masa Kebupatian Sumedang, salah satunya
Peristiwa “Cadas Pangeran” masa Bupati Pangeran Kusumahdinata IX atau
dikenal sebagai Pangeran Kornel. Pada tahun 1811 masa pemerintahan
Gubernur Jenderal William Daendels, merintahkan semua bupati di tanah
Jawa untuk membantu pembangunan jalan pos antara Anyer dan Banyuwangi.
Di Sumedang jalan pos tersebut harus melalui gunung cadas yang keras.
Pangeran Kusumadinata menghadapi pekerjaan yang berat mau tidak mau
harus dilaksanakan oleh rakyatnya dan tanggung jawabnya sebagai bupati,
setelah mengumpulkan rakyatnya Pangeran Kusumahdinata menganjurkan dan
mengajak rakyatnya untuk membantu pelaksanaan pembuatan jalan pos
tersebut, rakyat Sumedang menyatakan kesanggupannya melaksanakan tugas
itu.
Pada tanggal 26 November 1811 dibawah pimpinan Demang Mangkupradja dan
dibawah pengawas dari Pangeran Kusumahdinata, dimulailah pembobokan
gunung cadas untuk pembuatan jalan pos tersebut dalam proses pembuatan
jalan tersebut banyak rakyat Sumedang pun menjadi korban “kerja paksa”
Belanda, banyak rakyat menjadi korban akibat sulitnya medan jalan yang
dibuat, rakyat dipaksa untuk menembus bukit cadas dengan peralatan
seadanya. Pembangunan jalan pun tidak selesai pada waktunya. Daendels
meminta bupati agar rakyat dikerahkan habis-habisan untuk menyelesaikan,
Pangeran Kusumahdinata menolak karena tidak tega melihat rakyatnya
menderita. Ketika Daendels memeriksa pembuatan jalan tersebut, Pangeran
Kusumahdinata menunggunya. Sewaktu Daendels menyodorkan tangan kanannya
untuk mengajak bersalaman, Pangeran Kusumahdinata menyambutnya dengan
tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang hulu keris Nagasasra siap
menghadapi segala kemungkinan, semula Daendels marah karena sikap bupati
dianggap kurang ajar. Akan tetapi setelah mendengar penjelasan dari
Pangeran Kusumahdinata bahwa ia berani membantah perintahnya (simbolis
ditunjukan dengan menyalami memakai tangan kiri) demi membela rakyatnya
yang menjadi korban kerja paksa Daendels dan Daendels pun salut atas
keberanian Pangeran Kusumahdinata. Akhirnya Daendels merintahkan pasukan
zeni Belanda untuk membantu menyelesaikan pembuatan jalan dengan
mengunakan dinamit membobok gunung cadas, akhirnya 12 Maret 1812
pembangunan jalan pos di Sumedang selesai, sehingga daerah itu disebut
“Cadas Pangeran”. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal G.A. Baron
Van Der Capllen (1826 – 1830) Pangeran Kusumahdinata mendapat pangkat
militer sebagai Kolonel dari pemerintah
Belanda atas jasanya mengamankan daerah perbatasan dengan Cirebon dan
menumpas para perampok dan pemberontak terutama yang mencoba masuk ke
Sumedang dari Cirebon., sebutan kolonel dalam lidah rakyat berubah
menjadi “Kornel” sehingga terkenal sebagai Pangeran Kornel.
Pada tahun 1836 masa pemerintahan Pangeran Soeria Koesoemah Adinata /
Sugih (1836 – 1882). Pangeran Suria Kusumah Adinata mewarisi karakter
kakeknya Pangeran Kornel dalam hal kepemimpinan, kecerdasan,
kepemimpinan dan kesetiaannya pengabdian kepada rakyat terlihat dengan
jelas. Kebutuhan masyarakat diutamakan seperti pembuat jalan, pengairan,
pertanian dan sebagainya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Segala bentuk kewajiban rakyat yang memberatkan di bidang pertanian
dihapuskan pada 1885 seperti peraturan penanaman nila. Pangeran Suria
Kusumah Adinata disebut juga sebagai Bupati Pembangunan karena pada masa
pemerintahannya banyak membuat Gedung-gedung salah satunya Gedung
Kabupaten dan Bumi Kaler, jalan-jalan dan jembatan.
Setelah wafatnya Pangeran Soeria Koesoemah Adinata tahun 1882, posisi
Bupati digantikan oleh putranya Pangeran Aria Soeria Atmadja (1882 –
1919). Pangeran Aria Suria Atmadja merupakan pemimpin yang adil,
bijaksana, saleh dan taqwa kepada Allah. Raut mukanya tenang dan agung,
memiliki displin pribadi yang tinggi dan ketat. Pangeran Aria Suria
Atmadja memiliki jasa dalam pembangunan Sumedang di beberapa bidang,
seperti bidang Pertanian, Perternakan, Perikanan, Pendidikan, Kehutanan,
Kesehatan, Perekonomian, Politik, Keagamaan, Budaya dan lain
sebagainya. Pada masa itu Sumedang memasuki kemajuan begitu pesat
dibandingkan Kabupaten lainnya di Jawa Barat, sehingga Pangeran Aria
Suria Atmadja mendapat berbagai penghargaan atau tanda jasa dari
pemerintah kolonial Belanda salah satunya tanda jasa Groot Gouden Ster
(1891) dan dianugerahi beberapa bintang jasa tahun 1901, 1903, 1918,
Payung Song-song Kuning tahun 1905, Gelar Adipati 1898, Gelar Aria 1906
dan Gelar Pangeran 1910.
Pangeran Aria Suria Atmadja wafat pada tanggal 1 Juni 1921 dimakamkan di
Ma’la Mekah ketika menunaikan ibadah haji sehingga di kenal sebagai
Pangeran Mekah. Untuk menghormati jasa-jasanya pada tanggal 25 April
1922 didirikan sebuah monumen berbentuk Lingga di tengah alun-alun kota
Sumedang, yang diresmikan Gubernur Jenderal D. Fock, Residen Priangan
Eyken, Bupati Sumedang Tumenggung Kusumadilaga dan para Bupati
se-priangan serta pejabat-pejabat Belanda dan pribumi.
Sampai masa R. Hasan Suria Sacakusumah (1949 – 1950) Sumedang masih
dipimpin oleh Bupati keturunan leluhur Sumedang. Sejak tahun 1951 sampai
sekarang Bupati bukan dipimpin lagi oleh keturunan leluhur Sumedang.
(Sumber Buku Nyucruk Galur Mapay Laratan Sumedanglarang - Yayasan
Pangeran Sumedang 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar